Perkuat Budaya Integritas, CPNS Bawaslu Purbalingga Dalami Studi Kasus Korupsi Eks Hakim
|
Purbalingga, 19 September 2025 – Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kabupaten Purbalingga melanjutkan Pembelajaran Pelatihan Dasar (Latsar) CPNS dengan metode Asynchronous (Self-Learning/Assignment), secara daring dari kantor Bawaslu Purbalingga Jl. Mayjen DI Panjaitan No.41 Purbalingga, pada Kamis (18/09/2025).
Kegiatan ini berfokus pada tugas analisis kasus terkait nilai-nilai BerAKHLAK, menggunakan kasus penetapan Muhammad Arif Nuryanta, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi suap Rp60 miliar. Kasus ini melibatkan penerimaan suap dari pengacara korporasi besar seperti Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group, untuk memengaruhi vonis lepas (ontslag) majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) pada 19 Maret 2025.
Analisis ini bertujuan membekali CPNS agar menghindari pelanggaran integritas dan memperkuat komitmen terhadap nilai-nilai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam tugas analisis, CPNS menyoroti bagaimana kasus ini mencederai nilai Akuntabel dan Loyal. Muhammad Arif Nuryanta, mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, diduga menerima suap melalui perantara panitera Wahyu Gunawan, advokat Marcella Santoso, dan Ariyanto, dengan alur dana mencapai Rp60 miliar jauh melebihi harta kekayaannya yang dilaporkan Rp3,1 miliar melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Tindakan ini melanggar akuntabilitas publik dan kesetiaan pada amanah lembaga peradilan, menyeret tiga hakim lain Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom sebagai tersangka, serta merusak kredibilitas pengadilan dalam menangani kasus korupsi CPO senilai triliunan rupiah.
Kasus ini juga dianalisis dari perspektif Kompeten dan Berorientasi Pelayanan, di mana profesionalisme hakim seharusnya menjamin putusan adil dan transparan, bukan dipengaruhi gratifikasi. Vonis lepas terhadap korporasi tersebut bertentangan dengan tuntutan jaksa yang mencapai Rp17,5 triliun, menunjukkan kegagalan dalam penguasaan regulasi dan etika profesi.
Selain itu, nilai Harmonis dan Adaptif terganggu karena perbuatan ini memicu konflik internal lembaga dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan, meski ASN diharapkan adaptif menghadapi tantangan etis tanpa mengorbankan integritas. Kolaboratif menjadi pelajaran krusial, di mana kolusi antarpihak termasuk pengacara dan panitera merugikan sinergi lembaga negara.
Rose Herni Lukikasari, peserta pelatihan, menyatakan, “Analisis kasus ini membuka mata kami betapa rapuhnya integritas jika nilai BerAKHLAK diabaikan. Sebagai calon ASN, kami berkomitmen untuk akuntabel, loyal, dan profesional, agar kepercayaan publik terhadap pelayanan negara tetap terjaga.”ujarnya.
Penulis : Rose Herni Lukikasari
Editor : Muhamad Purkon